tirto.id - Melancong menjadi kegemaran generasi milenial, yakni mereka yang lahir di atas tahun 1980-an hingga tahun 1997. Menurut Prita Ghozie, CEO ZAP Finance, hobi melancong tidak terlepas dari slogan “You Only Live Once” atau YOLO yang membentuk gaya hidup generasi milenial.

Menurut Jason Vitug dalam buku You Only Live Once: The Roadmap to Financial Wellness and a Purposeful Life (2016), slogan YOLO menjadi ekspresi akan ketidakpastian hari esok. Slogan ini mengajarkan untuk meraih kesempatan dan hidup dengan bebas.

Akronim YOLO populer setelah Drake, penyanyi rap asal Kanada, merilis single hip hop bertajuk “The Motto” tahun 2011. Kajian Alex Leavitt berjudul "From #FollowFriday to YOLO: Exploring the Cultural Salience of Twitter" dalam buku Twitterand Society (2014) menjelaskan, YOLO merupakan moto kebudayaan anak muda Amerika mulai akhir tahun 2011 dan awal 2012.

YOLO menjadi penjelasan perilaku tidak bertanggung jawab anak muda Amerika yang ditampilkan lewat unggahan Twitter. Penggunaan moto YOLO seterusnya tidak hanya berhenti di media sosial Twitter tapi juga populer dipakai di unggahan media sosial lain, yakni Facebook. YOLO bahkan digunakan di luar dunia virtual. Ia bisa ditemukan di tengah percakapan antar-remaja di sekolah.

Menurut Leavitt, YOLO menjadi semacam carpe diem generasi anak muda saat ini. Roman Krznaric dalam Carpe Diem Regained: The Vanishing Art of Seizing the Day (2017) mengatakan kalau tagar #YOLO menjadi perwujudan moto carpe diem di media sosial. Carpe diem yang berarti “petiklah hari ini” diciptakan oleh penyair Romawi bernama Quintus Horatius Flaccus atau yang biasa dikenal dengan Horace. Ia menciptakan aforisme ini 2.000 tahun lalu, tapi carpe diem hidup dalam budaya populer hingga sekarang.

Salah satu yang paling mengesankan adalah gambaran carpe diem dalam film Dead Poets Society (1989). Film itu mengisahkan tentang kehidupan remaja di sekolah elite Welton Academy yang berubah drastis saat ada guru Bahasa Inggris baru bernama John Keating.

Keating, diperankan oleh Robin Williams, adalah sosok guru nyentrik dan memakai pendekatan yang berbeda dari guru-guru lain. Mulai dari naik ke atas meja, hingga berani menyobek halaman buku pelajaran. Pada murid-muridnya, Keating mengajarkan tentang carpe diem. Petiklah hari ini.

"Kenapa carpe diem? Karena kita adalah makanan untuk para cacing, bung. Karena, percaya atau tidak, setiap dari kita di ruangan ini, suatu hari nanti akan berhenti bernafas, tubuh jadi dingin, dan kita mati [...] carpe diem. Buatlah harimu luar biasa," kata Keating.

Pesan carpe diem yang saat ini muncul dalam slogan YOLO membawa pengaruh pada siapa pun yang mengamininya, tidak terkecuali generasi milenial. Prita Ghozie, CEO Zap Finance, perusahaan perencana finansial, kepada Tirto mengatakan kalau pola pikir YOLO berdampak pada generasi milenial Indonesia dari sisi ekonomi dan psikologis.

“Kecenderungan yang muncul adalah generasi milenial akan menjadi konsumtif dan mengutamakan pengeluaran untuk kegiatan yang sifatnya pengalaman. Contohnya travelling, experienced buying, dan lain-lain,” ujar Prita.

Experienced buyingmerupakan kegiatan membeli pengalaman yang menurut Thomas Gilovich, seorang profesor Psikologi dari Cornell University, fenomena itu mulai marak terjadi sejak tahun 2000-an awal. Melancong, menonton konser, dan melihat film di bioskop adalah contoh membeli pengalaman.

Pernyataan Prita senada dengan hasil riset kerjasama antara Rumah 123.com dan Karir.com. Penelitian itu menyebut generasi milenial Indonesia lebih mengutamakan aktivitas leisure dan traveling ketimbang memikirkan kebutuhan jangka panjang seperti membeli rumah.

Fenomena ini tidak hanya ada di Indonesia, tapi juga negara lain seperti Cina, Amerika Serikat, dan Inggris. Penelitian yang dilakukan Airbnb, perusahaan jaringan pasar daring dan penginapan rumahan asal Amerika Serikat (2016) menyebutkan melancong menjadi hal penting bagi para milenial, khususnya di Cina.

Dari 1.000 responden berumur 18 sampai 35 tahun, sebanyak 47 persen orang asal Inggris memprioritaskan melancong dibandingkan membeli rumah atau mobil juga membayar utang. Di Amerika Serikat, 55 persen responden lebih memilih menggunakan uangnya untuk pelesir. Cina menduduki peringkat paling tinggi, yakni sebanyak 71 persen orang yang mengakui aktivitas pelesir sebagai inti identitasnya.

Meski begitu, tingginya keinginan generasi milenial untuk melakukan aktivitas leisure dan melancong tidak berbanding lurus dengan kondisi kesehatan keuangan. Penelitian berjudul Employee Financial Wellness Survey tahun 2017 yang diterbitkan PwC, lembaga akuntansi di London, memaparkan sejumlah persoalan keuangan 1.600 pekerja penuh Amerika, termasuk di dalamnya generasi milenial.

Kekhawatiran seperti tidak punya tabungan untuk membayar keperluan tidak terduga, tidak bisa pensiun sesuai waktu yang diinginkan, tidak bisa memenuhi biaya hidup per bulan, diberhentikan dari pekerjaan, tidak bisa membayar utang, kehilangan rumah, dan tidak bisa membayar biaya kuliah membayangi pekerja milenial.

Manajemen utang dan kas para pekerja tersebut juga menunjukkan problem. Sebanyak 41 persen responden milenial mengatakan kesulitan memenuhi kebutuhan hidup per bulan. Hal ini membuat penggunaan kartu kredit dipilih sebagai jalan keluar. Data PwC menunjukkan 45 persen responden milenial menggunakan kartu kredit untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Selain itu, 70 persen pekerja secara konsisten mempunyai saldo alias utang kartu kredit. Dari pengguna kartu kredit itu, 39 persen responden kesusahan untuk membayar batas minimum pembayaran tiap bulan. Stres akibat masalah keuangan pada akhirnya menempati posisi tertinggi dibandingkan masalah lain yang juga jadi penyebab stres kaum milenial seperti kesehatan, pekerjaan, dan hubungan.

Hasil studi PwC di atas mengundang tanggapan Prita. “Dikatakan bahwa 70 persen dari generasi milenial memiliki utang kartu kredit. Jika hal ini tidak segera dibenahi maka artinya selama bertahun-tahun generasi milenial terbiasa hidup di atas batas kemampuannya. Jika demikian maka berpotensi akan bangkrut di usia 40 tahun,” katanya.

Ia mengatakan apabila generasi milenial hanya memikirkan hidup seakan hanya untuk hari ini maka persoalan akan muncul ketika masa pensiun. “Apalagi jika pekerjaan tetap sudah tidak dimiliki saat masih berusia 40-an tahun maka akan sangat menyulitkan generasi milenial untuk bertahan hidup dengan baik,” imbuhnya.

Pola pikir YOLO, menurut Prita, akan berdampak pada skala prioritas. Generasi milenial ingin langsung menikmati penghasilan yang diperoleh tanpa memikirkan pengeluaran di masa depan. Padahal, penghasilan tersebut belum tentu didapatkan lagi. Karenanya, Prita menyarankan perlunya punya rencana keuangan yang tertulis supaya bisa dilakukan pengecekan atas apa yang direncanakan dan apa yang dijalankan.

“Selain itu, kita memang harus bisa berhitung tentang berapa kebutuhan dana yang diperlukan untuk memenuhi pengeluaran yang sifatnya wajib, butuh, dan ingin,” ujar Prita.

Dana darurat dan investasi adalah hal wajib bagi generasi milenial. Caranya dengan menyisihkan setidaknya 10 persen dari penghasilan untuk investasi. “Tapi, uangnya jangan dipakai dalam jangka pendek. Pakai saat sudah berusia 45 tahun ke atas,” katanya.

Belakangan ini, dalam kehidupan sehari-hari, kerap terdengar istilah Generasi Milenial dan Generasi Kolonial. Meski tak terlalu paham artinya dan asal usulnya namun nyatanya istilah tersebut sudah diterima dan digunakan masyarakat pada umumnya. Memperhatikan pekembangannya dalam masyarakat, Istilah ini dilatar belakangi oleh perkembangan teknologi informasi yang kian pesat dan cepat berkembang.

Seperti kita ketahui, kebanyakan orang sedang demam gadget. Ada suatu kisah tentang seorang atasan yang sudah cukup senior yang merasa kecewa dan kesal, karena sering kali memergoki salah satu karyawannya selalu sibuk dengan gadget nya. Atasanpun menegur dan karyawannya menjelaskan bahwa aplikasi di gadget justru membantu pekerjaannya. Setelah mendengarkan penjelasan Karyawannya yang tenang dan percaya diri tentang aplikasi pada gadgetnya, Atasan tersebut menyadari bahwa selama ini dirinya telah tertinggal banyak mengenai perkembangan teknologi informasi yang telah berkembang dengan  begitu cepat. Dari sini juga kita bisa melihat ada generation gap atau celah generasi yang disebabkan oleh perkembangan teknologi informasi. Sebagaimana oleh Badan Pusat Statistik (BPS) populasi Indonesia saat ini dikelompokan dalam 6 (enam) generasi yaitu  Post Generasi Z (Post Gen Z), Generasi Z (Gen Z), Milenial, Generasi X (Gen X), Baby Boomer, dan Pre-Boomer.

Post Gen Z adalah generasi yang lahir pada 2013 dan seterusnya. Adapun Gen Z, merupakan generasi yang lahir pada 1997-2012. Mereka sekarang  berusia 8-23 tahun. Sedangkan  Milenial  yaitu generasi yang lahir pada 1981-1996 (saat ini berusia 24-39 tahun). Selanjutnya  Gen X  adalah generasi yang lahir pada 1965-1980 (sekarang berusia 40-55 tahun). Kemudian  Baby Boomer, yaitu generasi yang saat ini berusia 56-74 tahun (lahir 1946-1964). Lalu  terakhir adalah Pre-Boomer  merupakan generasi yang lahir sebelum 1945. Berarti  usia mereka saat ini   75 tahun ke atas.

Berdasarkan pengelompokan tersebut, Atasan dalam kasus tadi adalah generasi Baby Boomer sedang si karyawan adalah generasi Milenial. Generasi Baby Boomers, atau umumnya manusia pada tahun ini tumbuh seusai peperangan, dimana karakteristik utamanya adalah memegang prinsip dan adat istiadat sehingga dikenal konservatif alias mempertahankan kebiasaan atau dengan kata lain “kolot” atau “kampungan”. Semua pekerjaan dan kompetensinya dikuasai melalui proses yang panjang dan dianggap sebagai suatu “sumber kekuatan” atau  “source of power” dan hal ini bukanlah sesuatu yang mudah untuk membuat generasi ini merubah kebiasaannya seperti halnya yang dilakukan oleh generasi di bawahnya. Sedangkan Generasi Milenial merupakan sebuah generasi yang hidup di zaman yang sedang berubah dari konvensional menjadi modern. Generasi ini cukup beruntung karena masih cukup kental merasakan budaya dan di saat bertumbuh dewasa mereka mulai menggunakan teknologi. Generasi ini  merupakan generasi yang mempunyai  intelegensi digital yang tinggi dan senang berkolaborasi melalui media sosial dan internet. Tentu saja kesenjangan ini tidak boleh diacuhkan karena bagaimanapun masa depan adalah milik Generasi Milenial.

Pengelompokan populasi tidak menutup kesempatan untuk terus belajar. Generasi Baby Boomer atau seringkali disebut Generasi Kolonial dalam kehidupan sehari-hari harus mau dan mulai giat mencari tahu dan belajar tentang perkembangan teknologi informasi. Hal ini tentu saja akan sangat bermanfaat untuk kemudahan menyelesaikan pekerjaan sehari-hari dan memberikan manfaat untuk organisasi yang harus maju dan mengikuti perkembangan zaman.

Berbagi pengetahuan dan kolaborasi adalah kunci. Salah satunya dengan Knowledge Management. Knowledge Management atau Manajemen Pengetahuan yang mulai diperkenalkan pada tahun 1990-an merupakan suatu rangkaian alat, strategi dan metode untuk mempertahankan, menganalisa, mengorganisir, membagikan dan juga meningkatkan informasi yang terdapat di dalam suatu perusahaan dan diharapkan dengan adanya teknologi Knowledge Management yang digunakan ini harus mampu mengatasi gap antar generasi seperti yang terjadi pada ilustrasi di atas. Pengetahuan dan pengalaman yang lebih banyak milik Generasi Kolonial merupakan sebuah modal dalam bekerja, ditambah dengan pengetahuan dan kemampuan teknologi informasi atau digitalisasi segala pekerjaan yang dapat dieksekusi oleh Generasi Milenial dapat memudahkan segalanya. Intinya, bagaimanapun kita harus bisa mengatasi gap antar generasi tersebut dengan baik. Termasuk saling berdiskusi, mendukung dan mengajarkan untuk maju Bersama-sama. Tidak ada alasan untuk Baby Boomer atau Generasi Kolonial untuk tidak menyesuaikan diri, kecuali legowo untuk ditinggalkan.

Baby Boomer juga harus Milenial. Hal ini sangat penting untuk memastikan terjadinya perubahan estafet dari generasi ke generasi  secara mulus dan positif terhadap perkembangan di organisasi kita.

Penulis: Rahmad Basuki, KPKNL Pontianak

Jaga Integritas Gadjah Mada

(Berikan masukan, aspirasi, dan laporkan pelanggaran yang terjadi demi UGM yang berintegritas)

Please contact us for any problem with SIMASTER

(Direktorat Teknologi Informasi Directorate of Information Technology )

*Hari Senin-Jumat, 07.00 – 16.00

Call this number for any emergencies

(Kantor Keamanan, Keselamatan Kerja, Kedaruratan, dan Lingkungan Office of Workplace and Environmental Security and Safety and Emergencies)

Chaer, A. & Agustina, L. (2014). Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Devianty, R. (2017). Bahasa sebagai Cermin Kebudayaan. Jurnal Tarbiyah, 24(2), 226-245. http://jurnaltarbiyah.uinsu.ac.id/index.php/tarbiyah/article/view/167/211

Muliawati, H. (2017). Variasi Bahasa Gaul pada Mahasiswa Unswagati Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Tahun 2016. Deiksis : Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 4(2), 42. doi:10.33603/deiksis.v4i2.618

Mutoharoh, M., Sulaeman, A., & Goziyah, G. (2018). Interferensi Morfologi dalam Karangan Narasi Mahasiswa Thailand Semester IV Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Muhammadiyah Tangerang. Silampari Bisa: Jurnal Penelitian Pendidikan Bahasa Indonesia, Daerah, dan Asing, 1(1), 87. doi:10.31540/silamparibisa.v1i1.10

Noermanzah, N. (2017). Struktur Kalimat Tunggal Bahasa Sindang di Kota Lubuklinggau dan Pengaruhnya dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia. AKSIS: Jurnal Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia, 1(1), 3. doi:10.21009/aksis.010101

Sari, B. P. (2015). Dampak Penggunaan Bahasa Gaul di Kalangan Remaja Terhadap Bahasa Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Bulan Bahasa UNIB. 171-176.

Sulaeman, A. & Goziyah. (2019). Metodologi Penelitian Bahasa dan Sastra. Jakarta: Edu Pustaka.

Yana, A., dkk. (2018). Kosakata Bahasa Gaul Siswa Sekolah Dasar Kelas Tinggi. Jurnal Handayani, 9(1), 1-110. Universitas Negeri Medan (Unimed).

Oleh : Dr. Sugeng Nugroho, S.Kar., M.Sn.

Dalang merupakan tokoh sentral dalam berbagai jenis pertunjukan wayang, baik wayang kulit, wayang golèk, wayang klithik, maupun wayang wong.  Dengan kedudukannya yang sentral itulah maka ia dapat disebut ‘seniman paripurna’, karena menguasai (Jawa: mumpuni) berbagai disiplin seni, baik di ranah seni pertunjukan, seni rupa, maupun seni sastra.  Di ranah seni pertunjukan, ia menguasai seni tutur (retorika), seni tari, seni karawitan, seni vokal, dan seni drama.  Di ranah seni rupa, ia memahami berbagai jenis dan bentuk figur/tokoh wayang beserta wanda-wandanya.  Di bidang seni sastra, ia menguasai bermacam-macam cerita wayang dengan berbagai versi dan sanggitnya. Dalang, pada Zaman Prasejarah bukan sekedar seniman paripurna, melainkan juga ahli spiritual yang mampu menghubungkan dunia nyata dengan dunia gaib.  Di dalam sebuah upacara animisme, dalang tidak sekedar tampil sebagai penyaji cerita tentang riwayat kehidupan para leluhur, tetapi juga mampu menghadirkan arwah para leluhur dengan perantara boneka atau figur wayang.  Hal ini dapat dibuktikan di dalam Prasasti Wukajana yang dibuat pada masa Raja Balitung (829 Çaka atau 907 M) sebagai berikut.

… Hinyunakan tontonan mamidu sang tangkilhyang si nalu macarita bhimma kumara mangingal kicaka si jaluk macarita ramayana mamirus mabanol si mungmuk si galigi mawayang buatt hyang macarita bhimaya kumara (Holt, 2000:166; Haryono, 2008:34).

(… diadakan pertunjukan yaitu menyanyi oleh Sang Tangkilhyang, Si Nalu bercerita Bhima Kumara, [yang] menari Kicaka, Si Jaluk bercerita Ramayana, menari topeng dan melawak dilakukan oleh Si Mungmuk, Si Galigi memainkan wayang untuk hyang [roh nenek moyang] dengan cerita Bhima Kumara.) Kata “mawayang buatt hyang” menunjukkan bahwa peran dalang—yang dilakukan oleh Si Galigi—tidak sekedar sebagai pemain boneka wayang, juga sebagai mediator yang menghubungkan antara manusia dan arwah para leluhurnya.  Ia memiliki kemampuan yang sama dengan syaman, yakni seseorang yang memiliki akses terhadap dan mempengaruhi dunia roh-roh baik dan jahat, yang merasukinya selama ritual, untuk melakukan peramalan dan/atau penyembuhan penyakit.

Kata ‘dalang’ dimungkinkan berasal dari akar kata ‘dhang’ dan ‘lang’.  Kata ‘dhang’ memiliki kesamaan dengan kata ‘sang’ yang berarti sebutan atau panggilan kepada seseorang yang memiliki keistimewaan; sedangkan kata ‘lang’ berarti tidak menentu, ke sana kemari, berpindah-pindah tempat.  Dalam hal ini penulis kurang setuju jika kata ‘dalang’ merupakan kéråtå båså atau jarwå dhosok dari kata ‘wédhå’ dan ‘wulang’ atau ‘ngudhal piwulang’, yang berarti penyaji ajaran kebaikan atau pemberi wejangan.  Dengan demikian, dalang adalah seseorang yang memiliki keistimewaan tertentu yang berperan memberi pencerahan kepada masyarakat sekaligus mampu menyembuhkan penyakit karena gangguan roh jahat, dengan melakukan praktik secara berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, bergantung di mana ia dibutuhkan.  Berpijak dari pengertian ini, maka ‘peran’ yang diemban oleh dalang adalah atas dasar ‘niat’ atau ‘kemauan pribadinya’, yakni melekat pada keistimewaan yang dimiliki, bukan karena diminta bahkan dipaksa oleh orang lain untuk melakukan perannya.

Berdasarkan pemikiran tersebut, maka perlu dijabarkan terlebih dahulu mengenai pengertian pokok judul tulisan ini, yakni “Peran Dalang.” Kata ‘peran’ di sini apakah berarti dalang—sebagai subjek—yang mengambil perannya sendiri, ataukah keberadaannya—sebagai objek—diperankan (baca: diminta) oleh orang lain?  Selanjutnya, kata “Generasi Milenial” yang menjadi keterangan atas peran dalang, dapat dijelaskan sebagai berikut.

Milenial (juga dikenal sebagai Generasi Y, atau Gen Y atau Generasi Langgas) adalah kelompok demografi setelah Generasi X (Gen-X). … Para ahli dan peneliti biasanya menggunakan awal 1980-an sebagai awal kelahiran kelompok ini dan pertengahan tahun 1990-an hingga awal 2000-an sebagai akhir kelahiran (https://id.m.wikipedia.org>wiki> Milenial). Berpijak dari pengertian tersebut, jika dikaitkan dengan konteks peran dalang, maka judul tulisan ini kiranya lebih tepat jika diberi judul “Peran Dalang di Era Generasi Milenial,” bukan “Peran Dalang di Era Milenial” seperti yang diminta oleh panitia penyelenggara, karena era milenial saat ini telah berlalu, yang masih ada saat ini adalah generasi milenial, yakni generasi yang lahir sejak awal tahun 1980-an sampai dengan awal tahun 2000-an.

Permasalahan berikutnya yang tidak kalah penting adalah: apakah pada setiap era dan setiap generasi, dalang memiliki peran yang berbeda?  Misalnya, pada Zaman Prasejarah, dalang berperan sebagai syaman; pada Zaman Hindu/Buddha, dalang berperan sebagai juru cerita; pada Zaman Islam, dalang berperan sebagai juru dakwah; pada Zaman Orde Lama, dalang berperan sebagai juru propaganda politik; pada Zaman Orde Baru, dalang berperan sebagai juru penerangan.  Jika hal ini yang dimaksudkan, maka apakah yang menjadi peran dalang di era sekarang?

Permasalahan dalam tulisan ini akan dibahas dengan menggunakan pendekatan kontekstual, yakni sebuah pendekatan yang memandang seni pedalangan sebagai sebuah karya seni yang keberadaannya berhubungan dengan sejumlah elemen lain di luar disiplin seni (Ahimsa-Putra, 2000:35).  Adapun analisis yang dilakukan berprinsip pada metode kritik, meliputi: deskripsi, analisis, interpretasi, dan evaluasi (Feldman, 1967:469).

Dalang : Apa, Siapa, dan Bagaimana Perannya?

Dalang dalam kebudayaan Jawa merupakan sosok ‘manusia super’ yang tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang.  Sebagai seniman, ia harus memiliki keterampilan teknis dalam menyajikan pertunjukan wayang, yang di kalangan pedalangan Jawa disebut nawungkridhå (Soetrisno, 1976:2).  Pertama, ia harus menguasai repertoar lakon wayang dengan berbagai versi dan sanggitnya.  Selain itu, ia harus mampu menggarap lakon sesuai dengan konteksnya (Jawa: mungguh), terstruktur (Jawa: runtut), terjalin dengan rapi (Jawa: kempel), dan terselesaikan secara proporsional (Jawa: tutug).  Kedua, ia harus menguasai bahasa pedalangan, meliputi: bahasa Jawa, bahasa Kawi, bahasa kedhaton, dialek dan idiolek tokoh wayang.  Ketiga, ia harus mampu menyajikan narasi, dialog, dan monolog wayang secara sistematis (Jawa: runtut), jelas artikulasi (Jawa: wijang), sesuai dengan karakteristik tokoh wayang (Jawa: pilah), dan menyentuh rasa hayatan (Jawa: nuksmå).  Keempat, ia harus mampu meng­gerakkan berbagai boneka atau figur wayang sesuai dengan jenis (meliputi: putri [putrèn], satria halus [bambangan], tokoh gagah [gagahan], tokoh kasar [bapang/dugangan], figur binatang dan kelompok prajurit [rempagan], senjata, dan sebagainya), ukuran (meliputi: kecil, sedang, besar), karakter (meliputi: wibåwå, tandang, trengginas, ngglécé, dan sebagainya), dan suasana batin tokoh (meliputi: gembira, susah, sedih, marah, humor, dan sebagainya).  Kelima, ia harus mampu membawakan nyanyian pedalangan (disebut sulukan) sesuai dengan suasana yang dikehendaki dalam pakeliran, meliputi: agung, lega, sedih, kalut, asmara, marah, dan sebagainya.  Keenam, ia harus menguasai repertoar gending yang diperlukan untuk mendukung suasana pakeliran, meliputi: agung, senang, sedih, mencekam, dan sebagainya.  Ketujuh, ia harus mampu menyajikan dhodhogan dan keprakan sesuai dengan kebutuhan pakeliran.  Ketujuh unsur tersebut harus tersaji secara utuh, terstruktur, jelas, dan dramatis.

Dalang bukan sekedar seniman multitalenta, melainkan juga sosok budayawan.  Dengan halusinasinya yang luar biasa, ia mampu memprediksi kejadian atau peristiwa yang belum pernah terjadi.  Terbukti, jauh sebelum para teknokrat membuat pesawat terbang, dalang dengan narasinya telah menceritakan kehebatan tokoh Gatotkaca yang mampu terbang ke angkasa hingga langit ketujuh.  Jauh sebelum para teknokrat membuat kapal selam, dalang dengan narasinya telah menceritakan kehebatan tokoh Antareja menembus bumi dan Antasena menyelam di dasar laut.  Jauh sebelum para teknokrat membuat peluru kendali, dalang dengan narasinya telah men­ceritakan kehebatan panah Pasupati milik Arjuna dan senjata Cakra milik Kresna yang ketika diluncurkan dapat kembali ke tangan pemiliknya.  Melalui narasi pocapan gara-gara, dalang mampu menggambarkan suasana alam yang mencekam bagaikan hari kiamat.  Bahkan dengan halusinasinya, dalang mampu mendeskripsikan keadaan surga dan neraka sebagaimana yang dilihat oleh tokoh Narayana dan Sembadra—yang menjelma sebagai Resi Kesawa dan Endang Mandodari—dalam lakon Partådéwå; padahal dalang tersebut belum pernah mati.  Dengan intelektualitasnya, ia mampu menjabarkan berbagai wejangan, seperti wejangan Sangkan-Paran, wejangan Asthåbråtå, dan wejangan Påncådåså Kautamaning Satriyå Wirotåmå.  Dengan kemampu­annya yang luar biasa itulah maka dalang disebut memiliki sifat sambégånå, artinya: berwawasan luas, bijak, dan berintelektualitas tinggi (Soetrisno, 1976:2). Jika dirunut ke belakang, ternyata dalang bukan sekedar seniman dan budayawan, melainkan juga seorang spiritualis.  Oleh karena itulah ia mem­punyai sebutan ‘ki’—yang merupakan singkatan dari ‘kyai’—di depan nama­nya, artinya: ‘orang yang patut dimuliakan’.  Dengan kekuatan batin yang dimiliki ia mampu berkomunikasi dan bekerja sama dengan roh-roh baik dalam rangka mengobati penyakit, mengusir roh jahat, dan menenteramkan suasana (Jawa: hamemayu hayuning bawana).  Praktik spiritualis ini bahkan masih dapat dijumpai sampai sekarang, seperti ritual merti déså, ruwatan bumi, dan ruwatan sukertå.  Pengetahuan spiritual yang digunakan tidak mengacu pada agama, tetapi pada kesempurnaan Jawa atas kekuatan magi (Jawa: kasektèn) yang diperoleh dengan jalan laku bråtå cegah dhahar cegah néndrå, yakni berbagai macam tapa: kungkum, mendhem, pati geni, ngidang, ngalong, mbisu, ngédan, dan sebagainya.

Pertanyaannya adalah: “Apakah semua dalang demikian?”  Tentu saja tidak.  Hanya dalang-dalang tertentu yang mampu meraih kesempurnaan hidup.  Oleh karena itu, dalam dunia pedalangan sosok dalang dapat diklasifikasi menjadi lima kategori, yakni: dalang sejati, dalang purba, dalang waséså, dalang gunå, dan dalang wikalpå (Kodiron, 1964).  (1) Dalang sejati adalah dalang yang mampu menyatukan antara pikiran, ucapan, dan tindakan, memiliki kemampuan spiritual yang tinggi, mampu memberikan pencerahan bagi orang-orang susah, darma yang diberikan tanpa mengharapkan imbalan, karena hidup dan kemampuannya hanya diabdikan untuk memayu hayuning sasåmå dan memayu hayuning bawånå.  (2) Dalang purba adalah dalang yang mampu menjadi suri teladan dan guru bagi masyarakat; di dalam praktik mendalang ia mampu mem­berikan wejangan yang bermanfaat bagi banyak orang tanpa mengganggu alur lakon yang dipentaskan.  (3) Dalang waséså adalah dalang yang dalam praktik mendalang mampu menyesuaikan dengan situasi dan kondisi masya­rakat, serta mampu memukau penonton menjadi larut ke dalam garap pakelirannya.  Dalang dalam kategori ini sering disebut sebagai dalang yang ‘ora kéwuhan lakon’.  (4) Dalang gunå adalah dalang yang menguasai berbagai repertoar lakon wayang, sehingga sajian lakonnya runtut, kempel, dan tutug.  (5) Dalang wikalpå adalah dalang yang di dalam menyajikan pakelirannya sesuai dengan kaidah-kaidah pedalangan yang dianut.  Dalang dalam kategori ini biasanya sangat mentaati pakem. Pertanyaan berikutnya adalah: “Bagaimana dalang berperan di dalam kehidupan masyarakat?”  Dalang sesungguhnya merupakan sosok seniman yang mempunyai otoritas di dalam komunitasnya.  Ia bukan hanya sutradara pertunjukan yang mempunyai otoritas di dalam garapan pakeliran, melainkan juga seorang ‘juragan’ yang sangat menentukan nasib para kerabat (pengrawit, wiraswara, swarawati, dan kru panggung), karena dalanglah sang pemilik peralatan pentas.  Ia mempunyai kewenangan mutlak dalam hal prekrutan, penempatan formasi, penggajian, sampai dengan pemberian sanksi kepada kerabat kerjanya.  Oleh karena itulah sosok dalang sering mempunyai sifat individualis, tidak mau diperintah oleh orang lain baik di atas panggung maupun di luar panggung, dan biasanya memiliki prinsip yang kuat.  Terkait dengan sifatnya tersebut, maka di dalam kehidupan sosial biasanya ia bersikap ‘mengambil peran’, bukan diperankan, sehingga tidak jarang seorang dalang menjadi pemuka masyarakat.  Dengan demikian tidak mengherankan apabila pada masa Orde Lama para dalang mempunyai arah politik yang berbeda-beda, sehingga ada dalang yang agamis, nasionalis, dan komunis.  Baru pada masa Orde Baru para dalang dapat dikendalikan oleh pemerintah, sehingga mereka bernaung dalam satu partai politik (lihat Van Groenendael, 1987:224–237).  Sejak saat itulah para dalang mulai ‘diperankan’ sebagai corong pemerintah dalam rangka mempublikasikan misi-misi pembangunan.

Dengan berakhirnya Rezim Orde Baru dan masuknya Orde Reformasi di pertengahan tahun 1998, kedudukan dalang menjadi berubah.  Para dalang tidak lagi ‘diperankan’ oleh siapa pun, tetapi justru harus kembali ‘mengambil peran’ di tengah masyarakat yang mulai melupakan jasa-jasa mereka atas perjuangannya memperkokoh jatidiri bangsa.  Di tengah era kepemimpinan yang tidak lagi memikirkan nasib seni tradisi, para dalang mulai kebingungan untuk mempertahankan daya hidupnya, karena job pentas mereka menurun drastis.  Selain gaya hidup masyarakat telah berubah ke arah yang bersifat praktis-efektif-efisien, juga instansi-instansi pemerintah tidak ada lagi yang mengundang para dalang karena pentas wayang dianggap memboroskan uang negara.  Oleh karena itu, dalang dituntut untuk lebih kreatif, bukan hanya di dalam berkarya pedalangan melainkan juga di dalam mendapatkan job-job pentasnya.

Antara Dalang dan Generasi Milenial

Generasi Milenial—sebagaimana telah disebutkan di awal tulisan ini—adalah generasi yang lahir sejak awal tahun 1980-an sampai dengan awal tahun 2000-an.  Periode ini bersamaan dengan era masuknya Revolusi Industri 3.0 yang menghasilkan sistem informasi berbasis komputer, dan menjelang era Revolusi Industri 4.0 yang ditandai dengan masuknya dunia digital dan internet ke berbagai sendi kehidupan masyarakat.

Generasi milenial pada dasarnya dihadapkan pada dua sisi yang bertolak belakang; pada satu sisi mereka dihadapkan pada kecanggihan teknologi, tetapi pada sisi lain mereka mulai kehilangan jatidirinya sebagai orang Jawa.  Mereka tidak lagi paham bahasa Jawa yang merupakan bahasa ibu, karena komunikasi yang digunakan di lingkungan keluarga, sosial, dan sekolah adalah bahasa Indonesia.  Hal ini jika ditinjau sebenarnya tidak melulu kesalahan mereka, tetapi lebih pada kesalahan orang tua dan lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun sekolah.  Mata pelajaran Bahasa Jawa yang diajarkan di sekolah dari tingkat Sekolah Dasar sampai dengan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas intensitasnya sangat rendah, yakni hanya 45 menit per minggu.  Apresiasinya terhadap jenis-jenis kesenian tradisi mulai luntur, karena di lingkungan sekolah tidak pernah diberi pelajaran tentang kesenian tradisi, misalnya praktik menabuh gamelan, nembang, dan menari tari tradisi.  Seni pewayangan bahkan sama sekali tidak diperkenalkan kepada mereka, baik dari sisi cerita maupun kesenirupaannya.  Sebaliknya, seni-seni pertunjukan populer yang datangnya dari luar negeri mulai menggeliat di hadapan mereka, baik melalui tayangan televisi maupun jaringan internet yang sangat mudah diakses kapan pun dan di mana saja.

Berdasarkan pada situasi dan kondisi tersebut, maka persoalan antara ‘dalang’ dan ‘generasi milenial’ kiranya merupakan persoalan yang sulit untuk dipertemu­kan, karena kedua hal itu merupakan dua kutub yang berbeda karakter.  Berbicara tentang ‘dalang’, orientasi kita tentu mengarah kepada sesuatu yang bersifat tradisi, pakem, atau konservatif.  Sementara itu, berbicara tentang ‘generasi milenial’, orientasi kita tentu mengarah kepada sesuatu yang bersifat modern, canggih, atau menarik bahkan sensasional.  Pada sisi lain, saat ini Bangsa Indonesia tidak hanya dihadapkan pada sistem otomatisasi yang berbasis komputer, tetapi bahkan konektivitas yang berbasis website.  Era Industri 4.0 ini telah membawa dampak yang signifikan terhadap berbagai sendi kehidupan, terutama konektivitas yang memudahkan interaksi antar-manusia di seluruh dunia.  Dengan demikian sangat diperlukan pemahaman dan kesiapan para pelaku seni tradisi termasuk dalang di dalam menghadapi lajunya era digital yang semakin sulit dibendung.  Kreativitas, inovasi, dan kolaborasi merupakan kunci utama kesuksesan seniman dalang di dalam meng­hadapi kemajuan zaman. Kenyataan di lapangan menunjukkan, bahwa sebagian besar dalang—terutama yang berusia 50 tahun ke atas dan tinggal di pedesaan—masih ‘buta teknologi’.  Bagaimana mungkin mereka dapat memiliki perangkat digital, sedangkan untuk mempertahankan hidup saja sulit karena sepinya job pentas, sehingga mereka lebih memilih bersikap nrimå ing pandum, yakni menyerah pada keadaan.  Hanya sebagian kecil dari mereka—khususnya para dalang muda yang kreatif dan inovatif—yang mampu menangkap sinyal Revolusi Industri 4.0.  Selain pergelarannya mulai dipublikasikan melalui jaringan internet pada situs web ‘berbagi video’ atau YouTube, juga mereka mulai berbagi tentang pengetahuan pedalangan dan keterampilan teknik pakeliran di media web.  Cara ini di samping sebagai sarana untuk meraih popularitas, juga merupakan cara efektif untuk mengenalkan wayang kepada generasi milenial yang kesehariannya akrab dengan dunia maya.

Metode publikasi ‘baru’ yang dilakukan oleh sebagian dalang muda tersebut tentu saja membawa konsekuensi logis bagi mereka.  Pada satu sisi, dengan mengunggah karya pedalangannya melalui YouTube, ia akan lebih dikenal oleh masyarakat seluruh penjuru dunia.  Akan tetapi pada sisi lain, ia dituntut harus selalu produktif, kreatif, dan inovatif, karena karya seni yang diunggah di YouTube harus selalu ‘baru’, tidak duplikatif.  Selain itu, agar pertunjukan wayang yang diunggah di YouTube mempunyai daya tarik, dalang harus mencipakan format sajian pergelaran wayang yang relevan dengan layar gawai (gadget), antara lain: (1) durasi pertunjukan dibuat sesingkat mungkin (sekitar 30–45 menit) tetapi lakon yang disajikan harus bersifat padat dan tutug; (2) aspek wacana pakeliran (Jawa: catur) harus komunikatif dan efisien dengan tetap memperhatikan estetika bahasa pedalangan; (3) aspek gerak wayang (Jawa: sabet) tidak sekedar atraktif tetapi terkesan hidup; (4) gending dan sulukan mampu mendukung suasana pakeliran; dan (5) sajian dramatik pertunjukan harus mampu menyentuh rasa hayatan. Kelima hal tersebut memang belum sepenuhnya dapat menjamin keberhasilan dalang untuk menarik perhatian generasi milenial terhadap pertunjukan wayang.  Akan tetapi paling tidak itulah yang dapat diperankan oleh dalang dalam rangka mendekatkan kembali dunia wayang dengan masyarakat yang mulai melupakan tradisinya.  Upaya lain yang dapat dilakukan oleh seniman dalang saat ini adalah dengan menginovasi dan mengolaborasi pertunjukan wayangnya, baik dengan jenis seni pertunjukan lain (misalnya tari) maupun dengan teknologi digital (misalnya slide show), dengan tetap mem­pertimbangkan sisi artistik dan estetiknya.  Pada sisi lain, perlu ada kerja sama dalang dengan Dinas Pendidikan untuk memberikan apresiasi tentang kepada generasi milenial melalui program wayang masuk sekolah; juga kerja sama dalang dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata untuk melakukan pentas rutin di anjungan-anjungan wisata.  Untuk kegiatan yang disebut terakhir ini tentu saja harus disertai format pertunjukan yang bernilai jual, yakni dengan memanfaatkan unsur-unsur seni kemas (kitsch), meliputi: glammour, trick, gimmic, sex appeal, dan sensation.

Peran pemerintah juga tidak kalah penting untuk menumbuhkan minat generasi milenial mencintai pertunjukan wayang.  Program “Belajar Bersama Maestro” dan Program “Seniman Masuk Sekolah” yang telah dirintis oleh Direktorat Kesenian Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, kiranya perlu diupayakan secara terus-menerus dan berkelanjutan.  Dengan demikian generasi milenial kita tidak akan tercabut dari akarnya; mereka tetap memiliki jatidiri sebagai Bangsa Indonesia yang berbudaya.

Dalang, sejak kemunculannya di Zaman Prasejarah mempunyai peran penting di dalam kehidupan sosial budaya.  Ia bukan hanya seniman yang multitalenta, melainkan juga budayawan dan ahli spiritual yang mampu menghubungkan antara dunia nyata dan dunia maya.  Jika pada masa lalu dunia maya yang dihadapi oleh dalang adalah dunia roh, maka dunia maya yang dihadapi oleh dalang pada zaman sekarang adalah internet.

Sejak Zaman Prasejarah sampai dengan Zaman Orde Lama, dalang di dalam kehidupan masyarakat selalu ‘mengambil peran’ positif.  Banyak peran yang disandang oleh dalang pada masa itu, antara lain sebagai syaman, sebagai guru masyarakat, sebagai seniman, dan sebagai budayawan.  Hanya di Zaman Orde Baru dalang ‘diperankan’ oleh pemerintah dan para elite politik untuk menyampaikan misi-misinya.  Pada Zaman Reformasi sampai sekarang, dalang dituntut untuk ‘mengambil perannya’ kembali sebagai seniman yang berwawasan luas, kreatif, dan inovatif, agar pakeliran yang disajikan dapat diterima oleh generasi milenial yang mulai berjarak dengan dunia tradisi.

Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2000. “Seni dalam Beberapa Perspektif: Sebuah Pengantar,” dalam Ketika Orang Jawa Nyeni. Yogya­karta: Galang Press.Feldman, Edmund Burke. 1967. Art As Image and Idea. New Jersey: Prentice Hall, Inc. —–Haryono, Timbul. 2008. Seni Pertunjukan dan Seni Rupa dalam Perspektif Arkeologi Seni. Surakarta: ISI Press. Holt, Claire. 2000. Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia, terjemahan R.M. Soedarsono. Bandung: Arti Line Jazuli, M. 2003. Dalang, Negara, Masyarakat: Sosiologi Pedalangan. Semarang: Limpad. Kayam, Umar. 2001. Kelir Tanpa Batas. Yogyakarta: Gama Media untuk Pusat Studi Kebudayaan UGM. Kodiron. 1964. Serat Pedalangan Lampahan Sri Bojong. Surakarta: Sadu Budi. Kusumadilaga, K.P.A. 1981. Serat Sastramiruda, dialihbahasakan oleh Kamajaya. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah Depdikbud. Lindsay, Jennifer. 1991. Klasik, Kitsch, Kontemporer: Sebuah Studi tentang Seni Pertunjukan Jawa, diindone­siakan oleh Nin Bakdi Sumanto. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. –Murtiyoso, Bambang. 2004. Menggapai Popularitas: Aspek-aspek Pendukung agar Menjadi Dalang Kondang. Surakarta: STSI Press. Sedyawati, Edi. 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta: Sinar Harapan. Soedarsono, R.M. 1998. Seni Pertunjukan Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Soetrisno, R. 1976. Kawruh Pedalangan. Surakarta: Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI). Sutarno dan Sarwanto. 2010. Wayang Kulit dan Perkembangannya. Surakarta: ISI Press dan Cendrawasih. Van Groenendael, Victoria M. Clara. 1987. Dalang di Balik Wayang. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Walujo, Kanti. 1994. Peranan Dalang dalam Menyampaikan Pesan Pembangunan: Analisa Komprehensif Peranan Wayang dalam Komunikasi Pembangunan. Jakarta: Direktorat Publikasi Ditjen Pembinaan Pers dan Grafika Departemen Penerangan RI.

_________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Dr. Sugeng Nugroho, S.Kar., M.Sn., lahir di Wonogiri, 14 September 1965.  Lulus S-1 ASKI Surakarta pada tahun 1988 (dengan predikat sangat memuas­kan); lulus S-2 Pengkajian Seni Program Pascasarjana STSI Sura­karta pada tahun 2003 (dengan predikat cumlaude); dan lulus S-3 Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada tahun 2012 (dengan predikat cumlaude).

Sejak tahun 1998 sampai sekarang ia bekerja sebagai dosen Fakultas Seni Pertunjukan ISI Surakarta untuk Program Studi S-1 Seni Pedalangan dan S-1 Seni Teater; mulai tahun 2013 sampai sekarang ia mengajar S-2 Program Studi Penciptaan dan Pengkajian Seni Program Pascasarjana ISI Surakarta; dan sejak tahun 2015 sampai sekarang ia juga mengajar S-2 Pendidikan Seni Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Ia di samping menjabat sebagai Dekan Fakultas Seni Pertunjukan ISI Surakarta (periode 2017–20121), juga aktif di berbagai kegiatan profesi, antara lain sebagai Sekretaris Paguyuban Dhalang Surakarta (2004–sekarang); Seksi Pendidikan dan Hubungan Masyarakat pada Persatuan Pedalangan Indonesia (PEPADI) Komda Jawa Tengah (2013–2018); Sekretaris Dewan Penasihat PEPADI Pusat (2015–2020); dan Anggota Dewan Pakar PEPADI Komda Jawa Tengah (2019–2023).

Ia aktif melakukan penelitian tentang seni pertunjukan wayang, menulis artikel ilmiah di berbagai jurnal dan bunga rampai, serta menulis buku.  Ia juga sering menjadi narasumber di berbagai seminar seni pertunjukan, juri lomba pedalangan, dan pengamat festival wayang.

%PDF-1.5 %µµµµ 1 0 obj <>>> endobj 2 0 obj <> endobj 3 0 obj <>/XObject<>/ProcSet[/PDF/Text/ImageB/ImageC/ImageI] >>/Annots[ 11 0 R 14 0 R] /MediaBox[ 0 0 594.96 842.04] /Contents 4 0 R/Group<>/Tabs/S/StructParents 0>> endobj 4 0 obj <> stream xœ•\[“Û¸•~ï*ÿ>¥¤­n6‚·I*µö8ãL²N9kOm¥Æy`·è-‰R$Ò³�_Ÿs@€"¤öLM—Hçú�rî_ûöKýØGøÃý뾯×Í*úõþÓþðÏûOχæþCýÔvußî»?þ1zóöÇèͧW7÷?‰¨Š«<úôåÕ�ˆøWDe‹DEE©â2ú´{u“DOøçÝ«›_–wrq\¦‹ýò.[œàG»ZÞ©EÛáß'¼á��ø«ÙáíbQãNŠ–ÿŒ>ýåÕÍŸ`m\ß,)rW¥³ä¯‹¿-Ï£5öH½ÃKº·�Þ,óÅ@?kûˆ~ƒjxº¶£‘Bm|^,KËÞƒeïónÓ ‰— þ@¦ °œŠ*NR�åÐîŒ@‹4Vz(1×÷‡å]Jìý€?î´ÑÁÈËÙq< «t¸.1ï.cR ©á^.VÀwóÿH’Fp­H¿îO Úqï>Ï÷?És‹� ž2ó6pm¯y§zèÏÈÈÇ7¸ôß~ Wø»À?eÈ d ó]*w¡‘©ˆ3wÁ(‰`ÿñ×E.ÓÐ$•ÇyîM¢ÁEÈÄc§`#Éù‡Â?)\÷S �n¨LcQxC“àÐ2–ÂÒ‹ª²Xå³b2D?Ét͸¦|UÄRj†þ\£‡Šl±[Š V YçáP Ó8—.�—p*Ò2.”?ëŠFEœùeB“2‰cÎWÉf¼HHχD–O<—#†ãÉ4#ÒTÅÉÜ´èOïŒîÑÿ;ï÷»Ë àŒQ½"TÎ6Z0ºÿ€K½ÿñç·Qrÿ?u÷-šîîõ/K�v bŽ�Ö܆D†ÈôßÔ"ÖK²ˆŠDï–BðÏaK7>CÊ!4–˜ÒÅf)ÊE³¼+Ѻ$ÆðŒ ‡7Ù¤ ¿t¹¹¸[9K|KøDÞ5]s¤Ô„»i‰ù÷À:ýÚb îZ³MÞÚÊîukЦhZ³¢‰,•�8ro$å�¹Àw:÷ÊÒ8+¿cóê’ªƒ8"èš/ ŸM�GŒ'/ó85Æùijÿ7ØN‹Ò~®×3¾˜OyR¡æ•ˆ•q+q6qŽ!‹¸ð9†²”§3cŒJŠ¿NSòlÍx_¨ù-î³îêh ¡ô˜y†ÓR$‹áËKv.QÛ•¿ói¼›ß¹Ä#.lýLŸyØá^N¤˜F«s¾ T%â;H–’y¬ÊY3+ LEóÖaÇPQ“±·�±¨_NÆžË~€Ui,sœ˜RŽ¢‰¿tK€‚ß 6GȪå¾>Δõîj,¹áÔ»ƒñø_½Bô.†óŒO×xMó>Qº®»%âùœ¨ÛËù}ÉŒ•ê²’�ÌT¬2lÈ$æÌÂKhÄ Ù¢*¯Ú‰` i-5€@Sjí¤š±_c ‰„¦ñq€ttD¶šís)ýL�ŒLÕ%Ò·µ©Ô?ÙÝý÷ô7uIóßKŒr¨­µCë?îáñn6LŒ\BnPŸçjŒþç!p†{)Àß*‡{Œj)E¨Û &Õ‰Ô›CvÏ1²¾£íq='1¼)³Ó§ñq»�q‹´Ùm1N³ÉCØ.…À”þØ‹Ö!’«‘É`¾—E&!®¦@‘ä” @²ñû5D‚‡S�‚;Ö›`ZQ@½‰—™‘“ žÛ±æÊ„ªÒ$9zà’_)¸à/ †£‚KÐo4Û–¬Rô XøC¹ŽR\A(Šbø «ˆ*Nêõ@s3>Å ×Pç�̇§ÂqõAG;m“�&[Óú%Ç~Dnøz ûkD^§Z3þdc,®·5;èk†sODnoøitlF4SÏNе3iÙ––蘒UU¬ ­ÚCû"L°Q^)éC07[dEZQ—)ç Ò'‚Óò®bA”’$ÝÒVb[o55�ÖÓäH7œ|Hr…¤ 7¶“ê-2Mæ®Æºl¶!×ÍÀ¿„¿k4­n\•­ŠŒÅòÂn´È6rc-a)þ_<íb]í1|M¥eW™K<ô{Š$æ&Œ@«¸”þä uÎŒ­‚BMˆÔÈbVò`loÉtSsiô¹¹2 …ž…óy‘ÇEá³ÃJ!Û™:ýš‘º9mHý ³‹Ê¥ÝAFJʲ¤Ó‡'–±ÞÄËMƒT TØ™8ARÄ{ÅÊŽ‚2& ™`ò‚ jÞàº6zT†ý0oì3Çà»Â &&.Ü)MÇ ø‚>�¶KP©JÝP3ú